Minggu, 13 Juni 2010

Tugas Sosiologi


Body Piercing atau Tindik

Body Piercing (tindik tubuh) sebenarnya sudah dikenal sejak 10 abad silam hampir di seluruh belahan dunia. Catatan sejarah menunjukan, suku-suku primitif melakukan tindik sebagai bagian ritual adat dan penunjuk identitas derajat sosial.

Suku Indian melakukan body piercing dengan cara mengantungkan dada dengan kait besi dibagian dada. Ritual yang disebut OKIPA ini diperuntukan bagi lelaki yang akan diangkat menjadi tentara atau panglima perang. Sementara sebuah suku di india melakukan ritual menusuki tubuh dengan jarum yang panjangnya bisa mencapai sekitar satu meter untuk menghormati untuk menghormati dewa. Ritual bernama Kavandi ini biasanya digelar setiap februari.

Di Indonesia, tradisi tindik biasa dilakukan warga Suku Asmat di kabupaten Merauke dan SUku Dani di Kabupaten jayawijaya, Papua. Lelaki Asmat menusuki bagian hidung dengan batang kayu atau tulang belikat babi sebagai tanda telah memasuki tahap kedewasaan.

Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaaan tubuh melalui tindik di daun telinga sejak abad ke-17. Tak sembarangan orang bisa menindik diri. hanya pmimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik dikuping. Sedangkan kaum wanita Dayak menggunakan anting-anting pemberat untuk memperbesar cuping daun telinga. Menurut kepercayaan mereka, semakin besar pelebaran lubang daun telinga, semakin cantik dan tinggi status sosialnya dimasyarakat. Model primitif inilah yang akhirnya banyak ditiru komunitas piercing didunia.

PROSES PIERCING

Secara umum, sekarang ini dalam melakukan piercing dibutuhkan peratan pendukung (piercing tools), yang alat-alat tersebut biasan digunakan oleh pihak kedokteran dan rumah sakit. Sebelum melakukan proses piercing, sang piercer biasanya menanyakan beberapa hal penting kepada klien. Apakah dia dalam keadaan sehat atau sakit? Apakah sang klien mengidap suatu penyakit seperti Hapatitis, AIDS, genetik keloid, dll?

Peralatan pendukung yang digunakan antara lain; Ultrasonic dan Autoclave (untuk mensterilkan alat-alat pendukung agar tidak terkontaminasi oleh kuman dan bakteri), Ring Closing Pilers dan Ring Opening Pilers (alat pembuka dan penutup untuk anting yang berbentuk lingkaran), Pennington Slotted Forceps dan Forrester Slotted Forceps (Klep penjapit yang ujungnya berbentuk segitiga dan bulat), Skin Scribe atau Sterile Skin Maker (pensil bedah sebagai alat bantu untuk menandai area yang akan dipiercing), Piercing Needles (jarum untuk piercing dengan berbagai ukuran), Tapper(untuk memperbesar ukuran lubang piercing biasanya digunakan pada area kuping), Latex Galoves Sterile dan Non Sterile (sarung tangan bedah), Medipack (pembungkus alat-alat pendukung untuk piercing setelah alat tersebut disterilkan), Alkohol, Cairan Desinfectan (cairan pembersih) dan Sabun Anti Bakteri, Piercing Aftercare (cairan antiseptik perawatan pada piercing), dan banyak lagi.

Piercing sendiri pada umumnya dilakukan dalam beberapa tahapan. Awalnya sang piercer mencuci tangannya terlebih dahulu dengan sabun anti bakteri, kemudian mengunakan sarung tangan steril. Setelah itu menyiapkan jarum steril yang digunakan untuk sekali pemakaian (ukuran sesuai dengan kebutuhan). Siapkan anting yang telah disterilkan dan siap pakai. Siapkan tools atau alat pendukung (sesuai kebutuhan). setelah itu semua, proses siap dilakukan.

Selasa, 20 April 2010

Sejarah Banci

Tugas Sosiologi 1

Istilah Banci Dalam Islam

Dalam literatur Islam, dikenal dua istilah yang agaknya berdekatan dengan kata banci: khuntsa dan mukhnnats. Tetapi dalam prakteknya, kebanyakan orang menggunakan kata khuntsa dan sedikit yang memakai kata mukhnnats. Lalu siapakah yang dimaksud dengan banci dalam pandangan Islam? Adakah dia termasuk khuntsa ataukah mukhnnats.

Al-khuntsa dalam Bahasa Arab berasal dari kata khanatsa yang berarti ”lunak” atau ”melunak”. Misalnya dalam kalimat khanatsa wa takhannatsa yang artinya ucapan atau cara jalan seorang laki-laki yang lembut dan melenggak-lenggok menyerupai wanita.

Dalam definisi berikutnya, khuntsa adalah orang yang secara fisik mempunya dua alat kelamin sejak lahir, yaitu kelamin laki-laki dan kelamin wanita. Tapi kejadiannya sangat jarang dijumpai, walau tetap dituliskan oleh para ulama dalam kitab fiqih mereka terdahulu. Artinya kasusnya bukan sama sekali tidak ada, hanya jarang sekali terjadi.

Para ulama menuliskan ada dua jenis khuntsa: pertama khuntsa biasa dan kedua khuntsa musykil. Khuntsa biasa adalah seorang yang lahir dalam keadaan memiliki dua alat kelamin sekaligus. Namun salah satu alat kelaminnya lebih dominan dan lebih berfungsi. Sedangkan alat kelamin yang satunya kurang dominan, walaupun mungkin saja sedikit berfungsi.

Adapun khuntsa musykil adalah orang yang terlahir dengan dua alat kelamin yang berbeda dan keduanya berfungsi dengan baik atau malah sama-sama samar. Tapi ditambahkan cacatan pula, dari sekian banyak khuntsa, yang sampai ke level musykil ini nyaris hampir tidak pernah ada.

Sementara itu, mutakhnnats adalah seorang yang secara fisik laki-laki, namun kemudian karena terpengaruh oleh lingkungan sehingga dia berpikir bahwa dirinya perempuan.

Melacak Asal Muasal Tayangan Banci

Untuk menjadi bahan renungan bersama, agar kita tidak lekas mengamini segala upaya yang bisa memojokkan dan meminggirkan kaum banci, mari kita telusuri dari mana asal muasal ide untuk membuat tayangan banci dari pendekatan historis dan budaya. Sebuah jalan panjang budaya, kesenian rakyat dan sebuah perjuangan hidup dan mati para seniman, yang rela mengabdikan diri bertingkah lucu ala banci dan akhirnya menjadi seniman-seniman pertunjukan yang diakui masyarakat.

Untuk penelusuran itu, mari kita tengok Indonesia di era tahun 1940-1950. Pada saat itu, sebagaimana tulis Sony Set, kesenian rakyat yang menjadi icon hiburan entertainment paling terkenal adalah ludruk. Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus Javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra (1930).

Pada jaman perang dan revolusi, wanita tidak sembarangan boleh tampil di dunia hiburan. Selain masalah keamanan, kalangan masyarakat bahkan ulama, menganggap wanita ditabukan menjadi penghibur atau seniman. Pada jaman perang, boleh dipastikan, grup-grup kesenian keliling adalah satu grup yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Selain menghibur rakyat, grup-grup kesenian rakyat juga dijadikan alat penghibur bagi para pejuang, tentara yang melepas lelah setelah
berjibaku di medan tempur.

Untuk membuat meriah suasana dan menampilkan unsur komedi yang kental, maka para seniman ludruk ada yang membuat dandanan seperti seorang waria, bergaya ala banci dengan make up belepotan ala badut di wajahnya. Modifikasi ini, ternyata sangat ditunggu masyarakat. Gaya badut dan lelaki bergaya banci plus dialog-dialog komedi menjadi ramuan awal terciptanya kesenian komedi khas rakyat.

Ludruk dengan gaya bancinya, bahkan menjadi alat perjuangan untuk mengkritik penjajah Jepang dan Belanda. Di tahun 1933, Cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik Belanda maupun Jepang.

Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat. Oleh pemain-pemainnya, ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan persiapan kemerdekaan, dengan puncaknya, peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di seluruh grup ludruk di Indonesia yaitu: Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro, cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang. Dengan atribut ala banci, mereka membuat berbagai lawakan
berani yang secara tegas menunjukkan eksistensi kesenian rakyat melawan penjajah.

Di periode 60-an, kelompok kesenian ini mendapat perlindungan dan pengakuan dari pemerintah kala itu. Beberapa grup kesenian ludruk dikirimkan ke Irian Jaya untuk menghibur para prajurit yang sedang berjuang dalam operasi TRIKORA II. Tentu saja, pola permainan lawakannya menggunakan ramuan yang sama, lelaki bergaya banci digabungkan dengan badut dan acting komedi.

Lalu masuklah era Srimulat yang mempopulerkan komedi egaliter ke layar televisi. Beberapa pemainnya menggunakan atribut wanita demi menambah unsur komedinya. Idenya sebenarnya sederhana, para pendiri Srimulat dan pembuat cerita kreatif di masa itu, tidak tega membuat komedi yang harus diperankan secara gila-gilaan oleh wanita. Mereka terinspirasi dari gaya ludruk yang menggunakan pemain pria yang bergaya ala wanita untuk menampilkan sisi-sisi aneh sifat-sifat perempuan dengan agak ekstrim.